Tampilkan postingan dengan label samin. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label samin. Tampilkan semua postingan

orang samin bojonegoro

     Terletak Dusun Jepang, salah satu dusun dari 9 dusun di Desa Margomulyo yang berada di kawasan hutan memiliki luas 74, 733 hektar. Kecamatan Margomulyo Kabupaten Bojonegoro. Ajaran Samin yang disebarkan Samin suro sentiko (1859-1914)  adalah sebuah konsep penolakan terhadap budaya kolonial Belanda dan penolakan terhadap kapitalisme yang muncul pada masa penjajahan Belanda abad ke-19 di Indonesia. Sebagai gerakan yang cukup besar Saminisme tumbuh sebagai perjuangan melawan kesewenangan Belanda yang merampas tanah-tanah dan digunakan untuk perluasan hutan jati. samin yang berarti sami – sami amin (kebersamaan) yang dicerminkan dan dilandasi oleh kekuatan, kejujuran,

sejarah samin (bagian 3)



SAMIN SUROSENTIKO DAN AJARANNYA

AJARAN POLITIK

      Dalam ajaran politiknya Samin Surosentiko mengajak pengikut-pengikutnya untuk melawan Pemerintahan Koloniak Belanda. Hal ini terwujud dalam sikap :
1. Penolakan membayar pajak
2. penolakan memperbaiki jalan
3. penolakan jaga malam (ronda)
4. penolakan kerja paksa/rodi
     Samin Surosentiko juga memberikan ajaran mengenai kenegaraan yang tertuang dalam Serat Pikukuh Kasajaten, yaitu sebuah Negara akan terkenal dan disegani orang serta dapat digunakan sebagai tempat berlindung rakyatnya apabila para warganya selalu memperhatikan ilmu pengetahuan dan hidup dalam perdamaian.

sejarah samin ( bagian 2 )


SAMIN SUROSENTIKO DAN AJARANNYA

AJARAN KEBATINAN
      Menurut warga Samin di Desa Tapelan, Samin Surosentiko dapat menulis dan membaca aksara Jawa, hal ini bisa dibuktikan dengan beberapa buku peninggalan Samin Surosentiko yang diketemukan di Desa Tapelan dan beberapa desa samin lainnya. Khusus di Desa Tapelan buku-bukun peninggalan Samin Surosentiko disebut SERAT JAMUSKALIMOSODO, serat Jamuskalimosodo ini ada beberapa buku.
     Di antaranya adalah buku Serat Uri-uri Pambudi, yaitu buku tentang pemeliharaan tingkah laku manusia yang berbudi. Ajaran kebatinan Samin surosentiko adalah perihal manunggaling kawulo Gusti atau sangkan paraning dumadi. Menurut Samin Surosentiko , perihal manunggaling kawulo Gusti itu dapat diibaratkan sebagai rangka umanjing curiga ( tempat keris yang meresap masuk ke dalam kerisnya )

sejarah samin ( bagian 1 )


GEGER SAMIN

     Samin Surosentiko lahir pada tahun 1859, di Desa Ploso Kedhiren, Randublatung Kabupaten Blora. Ayahnya bernama Raden Surowijaya atau lebih dikenal dengan Samin Sepuh. Nama Samin Surosentiko yang asli adalah Raden Kohar . Nama ini kemudian dirubah menjadi Samin, yaitu sebuah nama yang bernafas kerakyatan. Samin Surosentiko masih mempunyai pertalian darah dengan Kyai Keti di Rajegwesi, Bojonegoro dan juga masih bertalian darah dengan Pengeran Kusumoningayu yang berkuasa di daerah Kabupaten Sumoroto ( kini menjadi daerah kecil di Kabupaten Tulungagung) pada tahun 1802-1826.

     Pada tahun 1890 Samin Surosentiko mulai mengmbangkan ajarannya di daerah Klopoduwur, Blora. Banyak penduduk di desa sekitar yang tertarik dengan ajarannya, sehingga dalam waktu singkat sudah banyak masyarakat yang menjadi pengikutnya. Pada saat itu pemerintah Kolonial Belanda belum tertarik dengan ajarannya, karena dianggap sebagai ajaran kebatinan biasa atau agama baru yang tidak membahayakan keberadaan pemerintah kolonial. Pada tahun 1903 Residen Rembang melaporkan bahwa ada sejumlah 722 orang pengikut samin yang tersebar di 34 Desa di Blora bagian selatan dan daerah Bojonegoro. Mereka giat mengembangkan ajaran Samin. Sehingga sampai tahun 1907 orang Samin berjumlah + 5.000 orang. Pemerintah Kolonial Belanda mulai merasa was-was sehingga banyak pengikut   Samin yang ditangkap dan dipenjarakan.
    

Orang Samin di Sukolilo, Pati (1)


Wong Sikep yang Skeptis


     RADEN Kohar (1859-1914) dari Desa Ploso Kedhiren, Kecamatan Randublatung, Kabupaten Blora, suatu hari mengubah namanya agar bernapaskan kerakyatan menjadi Samin Surosentiko. Lelaki yang melahirkan saminisme itu lalu hadir sebagai sosok kontroversial. Pengikut ajarannya memuja dia serupa dewa dan pahlawan penentang kolonialisme. Akan tetapi, orang di luar penganut saminisme lebih banyak mencemoohnya sebagai orang aneh dan lugu.
LIMASAN: Rumah berbentuk limasan yang berdinding gedek dan batu padas pada bagian lainnya menjadi ciri khas rumah orang Samin di Dukuh Bombong, Desa Baturejo, Kecamatan Sukolilo, Pati.(69j) - SM/Saroni Asikin         

     Namun, ajarannya tidak bisa mati setelah dia meninggal dalam pembuangannya di luar Jawa, luar wilayah yang sangat diagungkannya. Ajaran saminisme menyebar tak semata di Blora tapi meluas hingga Bojonegoro, Tuban, Lamongan, Madiun, Jember, Banyuwangi, Purwodadi, Pati, Rembang, Kudus, Brebes, dan beberapa daerah lain.

Orang Samin di Sukolilo, Pati (2)


Urunan Hasil Panen sebagai Ganti Pajak

     KEHIDUPAN sehari-hari wong Sikep di Dukuh Bombong, Desa Baturejo, Kecamatan Sukolilo, Kabupaten Pati dimulai pukul enam pagi. Saat langit masih cukup remang, apalagi bila sedang musim penghujan, mereka yang berusia remaja dan dewasa, sudah berduyun-duyun pergi ke ''sekolah''. Jangan berpikir itu sebuah bangunan berisi ruang-ruang kelas tempat seorang siswa belajar dan guru mengajar.
Bukan. Orang-orang Samin di situ tak memercayai pendidikan formal seperti yang dikenal umum. ''Sekolah'' yang dimaksud itu, hamparan sawah yang hampir setiap hari mereka datangi dan menjadi sumber utama penghidupan mereka.

WONG SINGKEP: Mbah Tarno ditemani putra bungsunya, Icuk Bamban, dan menantu perempuannya ketika mengungkapkan perihal wong Sikep di ruang tamu rumahnya. - SM/Saroni Asikin(55j)

     ''Apa kang aran sekolah? Iku lak ngajarke budi pekerti lan ketrampilan. Kabeh diajarke ning pondhokane sedulur-sedulur Sikep. Ketrampilan ya diajarke ning sawah-sawah. (Apa yang disebut sekolah? Itu kan mengajarkan budi pekerti dan keterampilan. Semua diajarkan di rumah orang Sikep. Keterampilan ya diajarkan di sawah-sawah)," ungkap Mbah Tarno, pemuka masyarakat.