Urunan Hasil Panen sebagai Ganti Pajak
KEHIDUPAN sehari-hari wong Sikep di Dukuh Bombong, Desa
Baturejo, Kecamatan Sukolilo, Kabupaten Pati dimulai pukul enam pagi. Saat
langit masih cukup remang, apalagi bila sedang musim penghujan, mereka yang
berusia remaja dan dewasa, sudah berduyun-duyun pergi ke ''sekolah''. Jangan
berpikir itu sebuah bangunan berisi ruang-ruang kelas tempat seorang siswa
belajar dan guru mengajar.
Bukan. Orang-orang Samin di situ tak memercayai pendidikan
formal seperti yang dikenal umum. ''Sekolah'' yang dimaksud itu, hamparan sawah
yang hampir setiap hari mereka datangi dan menjadi sumber utama penghidupan
mereka.
WONG SINGKEP: Mbah Tarno ditemani putra bungsunya, Icuk
Bamban, dan menantu perempuannya ketika mengungkapkan perihal wong Sikep di
ruang tamu rumahnya. - SM/Saroni Asikin(55j)
|
''Apa kang aran sekolah? Iku lak ngajarke budi pekerti lan
ketrampilan. Kabeh diajarke ning pondhokane sedulur-sedulur Sikep. Ketrampilan
ya diajarke ning sawah-sawah. (Apa yang disebut sekolah? Itu kan mengajarkan
budi pekerti dan keterampilan. Semua diajarkan di rumah orang Sikep.
Keterampilan ya diajarkan di sawah-sawah)," ungkap Mbah Tarno, pemuka
masyarakat.
Menurut pengakuan dia, tak ada anak wong Sikep yang
disekolahkan dalam pendidikan formal. Ajaran budi pekerti dan tentu saja
saminisme diinisiasikan di rumah-rumah mereka. Setiap hari, anak-anak lebih
banyak melewatkan waktu dengan bermain-main di sekitar lingkungan mereka atau bahkan
ikut orang tua ke sawah.
Dan memang, betapa pentingnya sawah bagi kehidupan mereka.
Bila musim penghujan, mereka menanam padi dan ketika kemarau mereka menanam
jagung. ''Tetanen wis dadi uripe sedulur Sikep. Dagang ora kulina lan ora
seneng. Wong dagang iku lak gelem nindakna goroh. Ingsun ora gelem goroh. Yen
tetanen, sapa kang digorohi?"
Ya, pertanian telah menjadi sumber penghidupan, karena
mereka tak suka berdagang yang disebutnya sebagai aktivitas yang tak luput dari
kebohongan. Padahal, orang Sikep memiliki prinsip tak mau berbohong. Jadi boleh
dibilang, kehidupan wong Sikep di situ, bergerak dari rumah ke sawah dalam
siklus yang (barangkali) sangat monoton. Boleh dibilang pula, kehidupan orang
Sikep di situ seolah-olah berada dalam bingkai rumah dan sawah. Tak ada warna
lain selain itu. Kalau toh mereka bepergian -dan itu sangat jarang dilakukan
mereka- hanya apabila mereka membutuhkan, misalnya untuk menjual sebagian
panenan.
Dalam tataran itu, perantauan atau mencari penghidupan di
luar wilayah mereka hampir-hampir tak pernah dilakukan. Walau begitu, seorang
staf di Balai Desa Baturejo mengatakan, beberapa tahun ini telah ada perubahan
cara hidup dalam diri mereka, khususnya dalam soal mencari penghidupan.
''Beberapa kalangan muda mereka mulai membuka diri ke dunia
luar dan mencari pekerjaan dengan merantau ke tempat lain. Namun memang secara
umum masih banyak yang bertahan dengan bertani saja,'' ujar sumber tersebut.
Mencari Ikan
Dengan monotonitas seperti itu, dalam keyakinan wong Sikep,
segalanya serbabersahaja. Alam bagi mereka merupakan ajang yang demikian
bermurah hati untuk penghidupan. Ya, mereka makan dari hasil panenan. Dan,
ketika mereka membutuhkan lauk-pauk, alam pulalah yang menyediakannya buat
mereka.
Banyaknya bonorawa (lahan yang menyerupai rawa-rawa kecil)
yang terdapat di sekitar persawahan mereka adalah ekosistem yang baik untuk
beberapa jenis ikan. Dan, pencarian ikan itu biasanya dilakukan pada malam hari
oleh para lelaki muda, meskipun seharian tenaganya telah terperas oleh kerja di
sawah.
Di sela-sela itu, tak pernahkah mereka saling berkumpul
untuk sekadar membicarakan persoalan mereka pribadi? Ketika ditanya itu, dengan
tegas Mbah Tarno menjawab, ''Kumpulan ya karo rabine dhewek-dhewek.''
Maksudnya, ''berkumpul'' dalam pandangan mereka itu adalah melakukan hubungan
suami istri.
Kalau boleh diringkas, beginilah siklus hidup wong Sikep di
Bombong. Pagi hari mereka pergi ke sawah hingga siang atau bahkan sore hari.
Dan, pada malam hidup mereka diisi dengan mencari ikan untuk lauk-pauk.
Dengan kebersahajaan serupa itu, adakah mereka melakukan
segalanya dengan cara yang serbatradisional dan menolak peranti teknologi yang
tak bisa mereka buat sendiri? Tak selalu. Mereka bukan komunitas yang zakelijk
dan mati-matian menolak peranti teknologi. Bahkan, peranti itu diterimanya
sebagai pendukung cara hidup mereka.
Mau bukti? Selain rumah-rumah mereka telah berlistrik, untuk
mencari ikan misalnya, banyak dari mereka yang menggunakan pancing setrum
dengan tenaga aki. Bahkan beberapa sumber di dukuh sekitarnya mengungkapkan,
kini beberapa wong Sikep telah memiliki motor untuk aktivitas sehari-hari.
Contoh lain, di rumah Mbah Tarno saja terdapat sebuah
pesawat televisi hitam putih model lama yang berada di pojok ruang tamu, dekat
tumpukan karung-karung padi. ''Iku diparingi rombongan mahasiswa, ning wis
rusak,'' ujar Icuk Bamban, putra bungsu Mbah Tarno.
Sering Didatangi
Kehidupan yang secara spesifik berbeda dari komunitas
kebanyakan, tak termungkiri lagi membuat komunitas wong Sikep sering didatangi
orang dari luar. Tentu saja kedatangan mereka memiliki maksud berbeda-beda. Ada
yang berupa tur studi, seperti yang dilakukan mahasiswa pemberi pesawat
televisi itu. Ada yang datang untuk keperluan politis seperti yang sering
terjadi menjelang pemilu.
''Pemilu lalu sebagian besar mereka pendukung partai yang
berjaya pada masa Orba. Akan tetapi yang muda-muda telah banyak yang memilih
partai pemenang pemilu lalu,'' ujar Kunarto SH, Sekretaris Kecamatan Sukolilo.
Dia juga mengungkapkan soal ketokohan Mbah Tarno. Maksudnya,
dalam melakukan pilihan, sebagian besar wong Sikep mengikuti pilihan sang
tokoh. ''Tak heran dia banyak didatangi orang partai. Namun ya tak mudah. Wong
berhadapan dengan Bupati saja mereka bergeming dengan keyakinannya. Misalnya
ketika mau diberi bantuan sesuatu, mereka menolak dan bilang telah
memilikinya.''
Dalam perkara administratif pemerintahan, bukan hal mudah
bagi pemerintah untuk mengajak mereka patuh aturan. Lihat saja, seperti yang
dilakukan penganjur saminisme Samin Surosentiko yang menolak pajak pada
Belanda, mereka pun tak mau mengeluarkan pajak. Akan tetapi, bukan berarti tak
ada yang bisa ditarik dari mereka.
''Istilahnya saja yang harus diganti. Kalau disuruh bayar
pajak mereka bilang harta yang mereka punyai itu atas usaha mereka yang
diwarisi sejak zaman Adam. Namun katakan saja 'urunan hasil panen' sebagai
alih-laih pajak, mereka akan bersedia,'' ujar Kunarto.
Belum lagi soal KTP. Khususnya dalam kaitan penerapan nama
agama dalam KTP, selama ini masih ada ketidaksepakatan antara wong Sikep dan
staf di balai desa. Mereka menginginkan agama yang dicantumkan adalah ''agama
Adam'' seperti yang mereka yakini. Sudah pasti itu jadi persoalan dalam
pembuatan KTP yang memang tak mengenal agama tersebut. Yang terjadi selanjutnya
adalah pengosongan nama agama.
Apa kata Mbah Tarno soal agama? ''Agama iku ageman. Sing
diagem iku gaman. Gamane wong lanang ya padha kabeh. Gaman sing kanggo sikep
rabi. Adam iku pangucape.''
Tak mudah menerjemahkan kalimat-kalimat tokoh Sikep Bombong
itu. Akan tetapi yang pasti, perkawinan seperti yang telah disebutkan pada
tulisan pertama menjadi unsur terpenting dalam keyakinan saminisme mereka. Yang
pasti lagi, sejauh ini mereka tetap berupaya agar ''agama Adam'' mereka
diterakan dalam KTP. (Saroni Asikin-64j)
Sumber :
Link yang berkaitan
Orang samin di Sukolilo, Pati (1)
Nice info
BalasHapus