Wong Sikep
yang Skeptis
RADEN Kohar
(1859-1914) dari Desa Ploso Kedhiren, Kecamatan Randublatung, Kabupaten Blora,
suatu hari mengubah namanya agar bernapaskan kerakyatan menjadi Samin
Surosentiko. Lelaki yang melahirkan saminisme itu lalu hadir sebagai sosok
kontroversial. Pengikut ajarannya memuja dia serupa dewa dan pahlawan penentang
kolonialisme. Akan tetapi, orang di luar penganut saminisme lebih banyak
mencemoohnya sebagai orang aneh dan lugu.
Namun,
ajarannya tidak bisa mati setelah dia meninggal dalam pembuangannya di luar
Jawa, luar wilayah yang sangat diagungkannya. Ajaran saminisme menyebar tak
semata di Blora tapi meluas hingga Bojonegoro, Tuban, Lamongan, Madiun, Jember,
Banyuwangi, Purwodadi, Pati, Rembang, Kudus, Brebes, dan beberapa daerah lain.
Ini
sepenggal cerita mengenai komunitas pewaris ajaran saminisme yang tersisa di
sebuah perdukuhan wilayah Sukolilo, Kabupaten Pati. Nama dukuhnya Bombong, satu
dari lima dukuh di Desa Baturejo. Bukan sebuah dukuh yang terpencil,
seterpencil cara hidup mereka yang berbeda dari dukuh-dukuh sekitarnya.
Dari jalan
utama Kecamatan Sukolilo, Dukuh Bombong hanya sekitar tiga kilometer. Meski ada
bagian jalan yang berlubang-lubang, jalan menuju ke dukuh tersebut umumnya
sudah beraspal. "Mereka menyebut diri mereka sebagai wong Sikep, dan bagi
kami mereka itu aset budaya. Jangan khawatir, asal Anda bisa berkomunikasi
dengan mereka, tentu saja berbahasa Jawa krama, Anda tidak akan menemui
kesulitan. Temui saja Mbah Tarno. Dia pemuka wong Sikep di Bombong itu,"
saran Kunarto SH, Sekretaris Kecamatan Sukolilo di kantornya, Selasa (9/3).
Siang itu
langit mendung dan beberapa kali turun rintik-rintik hujan. Tidak sulit mencari
Mbah Tarno. Begitu memasuki Desa Baturejo, hampir setiap orang yang ditanya
mengenalnya dan langsung memberikan petunjuk ke rumahnya sembari memberi
semacam komentar, "Mereka itu orang-orang yang aneh. Namun mereka juga mau
srawung, kok."
Persepsi
bahwa orang Samin itu aneh, nyleneh, dan banyak predikat lain yang berujung
pada simpulan bahwa mereka hidup dengan cara yang berbeda dari masyarakat kebanyakan
sudah acap terdengar.
Komentar
orang Desa Baturejo itu tidak pelak lagi hanya menjadi semacam pembenaran
belaka.
Jalan menuju
ke rumah Mbah Tarno adalah jalan kecil yang telah beraspal. Sepanjang jalan
itu, aktivitas warga dukuh seolah-olah sama, yaitu menjemur padi. Yang agak
mencolok sekaligus semacam pembeda dari panorama di dukuh-dukuh sekitarnya,
boleh dibilang sebagian besar warga Dukuh Bombong memiliki anjing. Binatang itu
berkeliaran di sekitar aktivitas penjemuran padi.
Rumah Mbah
Tarno ada di ujung dukuh. Siang itu dia tengah duduk tepekur di lincak depan
rumahnya yang berbentuk limasan. Hampir semua rumah wong Sikep bergaya limasan.
Suara
Merdeka berujar "salam waras" sesuai dengan saran Kunarto SH. Kata
dia, hanya dengan salam serupa itu wong Sikep baru mau menjawab. Akan tetapi,
Mbah Tarno tak menjawab sama sekali. Alih-alih dia bertanya, "Paringi
pengaran sinten, sederek saking pundi? (Siapa nama saudara dan dari
mana?-Red)."
Setelah
perkenalan singkat, dia mengajak masuk. Ruang tamunya penuh dengan panenan
padi. Di situ, ditemani Icuk Bamban (anak bungsu Mbah Tarno yang dalam istilah
wong Sikep disebut anak ruju) dan istri Icuk yang tetap cuek menyusui anaknya
yang kecil setelah membuatkan teh dan menyuguhkan penganan kecil berupa roti
berselai kelapa, Mbah Tarno berbicara banyak mengenai adat Sikep yang
diyakininya.
Sikap
Skeptis
Hampir tiga
jam obrolan dengan pemuka wong Sikep itu, memang bukan obrolan yang bisa
membuka semua informasi mengenai orang Samin di situ, tapi setidaknya sikap
penerimaannya cukup membuka ruang perbincangan.
Meskipun
demikian, acap kali sebuah pertanyaan seolah menggantung karena jawaban-jawaban
yang meluncur hampir selalu singkat dan cenderung "menutup diri" dan
skeptis dalam memandang sesuatu. Misalnya ketika ditanya, mengapa mereka
menyebut diri sebagai wong Sikep? "Wong lanang iku sikep rabi. Sira wong
lanang, ya rabi karo wong wedhok. Wong wedhok ya sikep laki. Apa kang
bedha?" jelas Mbah Tarno.
Bukan tanpa
alasan, mengapa perkawinan yang disebutnya sikep rabi atau sikep laki sebagai
sesuatu yang sangat prinsip bagi mereka. Dalam ajaran saminisme, perkawinan itu
sangat penting. Itu merupakan alat untuk meraih keluhuran budi yang seterusnya
untuk menciptakan atmaja tama (anak yang mulia). Dalam perkawinan menurut adat
mereka, pengantin laki-laki harus mengucapkan "syahadat" yang
berbunyi (kalau ditejemahkan) lebih kurang, "Sejak Nabi Adam pekerjaan saya
memang kawin. (Kali ini) mengawini seorang perempuan bernama ... Saya berjanji
setia kepadanya. Hidup bersama telah kami jalani berdua."
Itu pula
yang lalu memunculkan stigmatisasi tertentu. Orang Samin dianggap sebagai
pemuja kumpul kebo. Tak sebagai pembenaran, bagi mereka menikah dengan
seseorang adalah untuk selamanya. Jadi, tidak ada kamus perselingkuhan pada
mereka. Kecuali, yen rukune wis salin, sebutan seorang lelaki yang istrinya
telah meninggal, seorang Sikep baru boleh menikah lagi.
Mau contoh
sikap skeptis lainnya? Coba saja tanya berapa umur seorang penganut saminisme
di Bombong itu, mereka akan menjawab dengan nada tunggal bahwa umur mereka
hanya "satu".
Mbah Tarno
yang diperkirakan berumur 70-an tahun itu pun hanya menjawab, "Siji. Yen diitung
tahune ya akeh, tapi apa sira ngerti yen ora dikandhani wong tuwanira? (Satu.
Kalau dihitung tahunnya ya banyak. Namun, apa kamu tahu kalau tidak diberitahu
orang tuamu?)"
Contoh lain,
tanyakan jumlah anak, mereka serempak menjawab, "Loro, lanang lan
wedok." Jawaban yang bagi orang di luar penganut saminisme boleh jadi
mengesalkan.
Akan tetapi,
dengar ucapan Icuk Bamban. "Akeh sing ora ngerti apa kang aran Sikep. Wong
Sikep dianggap aneh. Padahal yen dinalar, wong Sikep iku maca kasunyatan. Maca
hak awake dhewek. Maca sing wujud. Wong sak dunya, ora ana kang beda. Lanang
padha lanange. Wedoke padha wedoke. Wong lanang sikep rabi karo wong
wedok."
Putra bungsu
pemuka orang Samin di Bombong itu berbicara lugas soal pandangan orang yang
menganggap mereka aneh. Padahal, menurut dia, mereka adalah orang-orang yang
membaca kenyataan, membaca sesuatunya dari yang nyata. Dalam konteks itu, semua
orang adalah sama. Semua orang itu bersaudara.
Ucapan yang
bijak dan bernilai universal. Dan kenyataannya, dalam kehidupan sehari-hari,
orang Samin di Bombong, Kecamatan Sukolilo, Pati kukuh menggenggam keyakinan
itu.(Saroni Asikin-69j)
sumber:
http://www.suaramerdeka.com/harian/0403/17/nas9.htmlink yang berkaitan
1 comments:
Wah, coba semua bahasa Jawanya ada terjemahannya..
Wis paham aku, hiks.. hiks..
Posting Komentar